Combined ratio merupakan salah satu ukuran yang dipakai regulator untuk mendeteksi dini kondisi perusahaan. Sayangnya, meski sudah mulai diterapkan, belum ada angka absolute yang dipakai sebagai patokan
Bom yang meledak di JW Marriot dan Ritz Carlton pada 17 Juli lalu mungkin akan meningkatkan risiko keamanan dan risiko asuransi. Kejadian memilukan tersebut menjadi peringatan bagi semua pihak untuk kembali waspada pada ancaman terorisme. Bagi industri asuransi hal ini seperti keping mata uang, satu sisi bisa menaikkan pendapatan premi asuransi (khususnya produk terorisme-sabotase/TS), di sisi lain ancaman klaim besar pun bisa terjadi.
Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Kornelius Simanjuntak membenarkan dampak tersebut bakal meningkatkan risiko asuransi. Di sisi lain akan menyadarkan masyarakat terutama pemilik gedung untuk mengasuransikan asetnya agar tidak terjadi kerugian. “Risiko politik dan keamanan termasuk risiko yang sensitif terhadap perubahan pasar,” ujar pria yang juga menjabat presiden direktur PT Asuransi Himalaya Pelindung ini. Diakuinya, perusahaannya merupakan penanggung risiko Hotel JW Marriot tersebut. Meski demikian, Kornelius enggan menyebutkan berapa nilai pertanggungan yang di-cover-nya. “Saat ini saya belum bisa sampaikan,” tutupnya.
Dengan adanya kejadian tersebut berimplikasi terhadap kenaikan tingkat risiko sehingga bakal mendorong kenaikan harga premi. Padahal dua komponen ini berpengaruh terhadap hasil kinerja perusahaan yang tercermin melalui ukuran combined ratio.
Regulator telah merumuskan rasio-rasio sebagai peringatan dini atau dikenal dengan early warning system (EWS). Ada 15 rasio yang saat ini dimiliki untuk mendeteksi kondisi perusahaan apakah dalam keadaan wajar atau tidak. Dengan mengetahui secara lebih awal kondisi perusahaan tersebut, maka regulator bisa memberi peringatan agar memperbaiki kondisi dan menghindari masalah yang lebih serius di kemudian hari.
Salah satu yang dipakai adalah combined ratio. Rasio ini dipakai untuk mengukur bagaimana perusahaan asuransi menjalankan bisnisnya, baik dalam hal pengelolaan risiko maupun biaya operasionalnya. Rasio ini diperoleh dengan menjumlahkan rasio klaim dengan expense ratio. Klaim rasio merupakan beban klaim dibagi premi neto. Sementara expense ratio merupakan beban operasional dibagi premi neto.
Kepala Bagian Analisis Keuangan Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) Masdar menjelaskan, semakin tinggi angka rasio klaim menunjukkan proses underwriting perusahaan tidak berkualitas. Hal itu bisa juga terjadi karena perusahaan menetapkan tarif premi yang terlalu rendah. Sebaliknya, kian rendah rasio klaim menunjukkan kualitas underwriting yang bagus atau karena perusahaan menerapkan tarif premi yang tinggi. ”Combined ratio tidak melebihi 100%, dan yang bagus kurang dari 100%. Ini mencerminkan perusahaan tersebut efisien dan kualitas underwriting-nya bagus, ” ujarnya.
Berdasarkan data Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) combined ratio industri asuransi umum mengalami perbaikan. Ketua Bidang Data dan Statistik Dadang Sukresna, tahun 2008 mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Klaim ratio dari tahun 2005 hingga 2007 mengalami peningkatan, sementara expense ratio justru mengalami penurunan. Alhasil, pada 2008 angka combined ratio menjadi menurun. ”Penurunan combined ratio ini menunjukkan industri memberikan hasil yang baik,” paparnya.
Presiden Direktur PT Asuransi Adira Dinamika Willy S Dharma mengakui meski kondisi 2008 terjadi krisis namun tidak banyak klaim besar terjadi. Di sisi lain banyak perusahaan melakukan proses underwriting yang baik. ”Membaiknya hasil underwriting salah satunya karena adanya faktor PMK 74/2007,” paparnya. PMK ini mengatur batasan minimal tarif dan komisi yang diberikan pada produk asuransi kendaraan bermotor. Aturan ini untuk mengatasi perang tarif pada asuransi kendaraan bermotor yang sudah mengkhawatirkan industri.
Beberapa perusahaan mampu mempertahankan combined ratio secara stabil dan berfluktuasi. Sementara perusahaan lain mampu menurunkan. Asuransi Sinar Mas misalnya, mampu mengurangi combined ratio dari 101% pada 2007 menjadi 68% pada 2008. Kemampuan menekan rasio ini rupanya menggambarkan pencapaian yang memuaskan dari perusahaan. Pendapatan premi yang melonjak sementara klaim rasio yang menurun. Penurunan signifikan ini kata Dumasi M Siregar, antara lain mampu menekan biaya operasional dan angka klaim rasio yang membaik. Pada 2007, klaim rasio perusahaan ini mencapai 96%, dan mampu ditekan menjadi hanya 64%.
Hal sama dialami Asuransi Recapital. Menurunnya angka combined rasio tidak terlepas dari proses efisiensi usai diakuisisi Recapital Group. Proses konsolidasi yang dilakukan pada tahun 2008 mempengaruhi beban klaim yang diterima, karena perusahaan belum secara ofensif mengejar penjualan. ”Kami sedang dalam proses konsolidasi, dan baru running tahun ini,” papar Sudarmin, presiden direktur Reguard.
Bila mencermati data industri yang dikeluarkan Biro Perasuransian Bapepam LK, selama lima tahun terakhir, angka combined ratio rata-rata asuransi kerugian sebesar 89,56%. Tahun 2008 angka combined ratio lebih rendah dibandingkan dua tahun sebelumnya yakni sebesar 89,43%, turun dari 95,88% pada 2007, dan 90,38% pada 2006. Walau angka rata-rata industri mencapai 89,43%, berdasarkan data AAUI beberapa perusahaan mencatat angka combined ratio yang jauh di bawah rata-rata industri, bahkan ada yang melompat di atas rata-rata.
EWS Bersifat Dinamis
Adanya angka yang tidak wajar, karena terlalu jauh di bawah rata-rata industri atau di atas industri mengindikasikan ada ’sesuatu’ yang mesti ditelaah lebih dalam. Rumusan yang diberikan tersebut, baik combined ratio maupun rasio lain yang menjadi bagian EWS belum secara resmi memberikan angka absolut. Diakui Kepala Biro Perasuransian Isa Rachmatarwata, sampai saat ini regulator belum secara tegas menetapkan batasan mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap berbahaya. Alasannya, regulator tidak ingin terburu-buru dan gegabah sehingga malah membuat industri menjadi tidak baik. ”Perlu banyak pertimbangan dan kajian untuk suatu benchmark yang lebih absolut ukurannya,” jelasnya.
Meski demikian, ia menyatakan patokan rata-rata industri bisa jadi acuan. Sebagai contoh rata-rata combined ratio industri tahun 2008 sebesar 89,56%, perusahaan yang berada di kisaran tersebut dianggap cukup baik. Saat ini regulator baru mengenalkan hal ini kepada industri. ”Begitu kita lihat performance suatu perusahaan jauh dari rata-rata industri itu sudah menjadi eaerly warning buat kita. Itu yang kita lakukan,” tandasnya.
Disampaikan Isa, bila dikaitkan dengan risk base supervision EWS menjadi dinamis sifatnya. Kalau pada suatu saat melihat satu hal yang harus menjadi fokus pengawasan, maka akan dikembangkan indikator-indikator terkait Selain belum menetapkan angka absolut, EWS ini pun bersifat dinamis. Artinya, ketika industri tengah dihadapkan pada suatu keadaan atau persoalan, maka ada rasio-rasio yang penekanannya lebih.
Diakui Isa, regulator sebenarnya lebih dulu mengantisipasi kondisi industri asuransi sebelum terjadinya krisis beberapa waktu lalu. Regulator mendeteksi risiko-risiko penyelenggaraan usaha asuransi baik yang sifatnya operasional maupun yang bersifat investasi, begitupun dalam governance. “Dalam hal ini kami bersyukur bahwa dengan cara itu kami bisa menduga dan ternyata banyak tepat mana yang kira-kira akan mendapat persoalan dengan adanya krisis ini,” paparnya.
Dengan EWS tersebut, misalnya pasar modal berubah dengan cepat bisa berdampak kemana. “Beberapa perusahaan sudah kami ingatkan sejak awal. Seperti bagaimana mengharapkan hal ini tumbuh, kalau ini turun sekian persen, dan sebagainya,” tambahnya. Keberhasilan mendeteksi risiko-risiko di beberapa perusahaan tersebut meyakinkan regulator untuk mengembangkan metode ini dengan mempertajam dan meng-up date data.
Recent Comments